Kami tengah berjalan menuju rumah indekos Desi di daerah Cilimus Bandung. Jalanan di samping Asrama agak becek setelah hujan terus menerus mengguyur Bandung sejak malam hari. Aku, Desi, Reni dan Tia kemudian bercakap-cakap untuk menghilangkan jenuh selama perjalanan.
“Bukan hanya di kelas tapi di angkatan jurusan juga,” kata Reni.
“Alhamdulillah ya… kita bukan berada di jurusan yang terbilang Islami, tapi lingkungan kita sangat Islami, serasa di pesantren,” kata Tia kemudian, menggaris bawahi bahwa jurusan kami bukanlah jurusan PAI, atau Bahasa Arab, atau lain-lainya yang berbau Islam. Kami adalah mahasiswa jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan.
“Omong-omong memang benar di kelas B sudah menggunakan hijab semua?” kataku.
“Sudah, yang pas masuk nggak pakai pun sekarang pakai…” jawab Desi.
“Si Mutia juga yang dulunya sering pakai rok pendek sekarang berhijab, mungkin dia baru mendapatkan hidayah setelah ayahnya meninggal,” kata Tia.
Entah mengapa mendengar kata-kata itu hatiku tersentak, beberapa saat aku hanya terdiam. Ingatanku kembali pada saat dimana hidayah itu datang padaku. Setahun yang lalu, tiga tahun yang lalu, bahkan sejak aku kecil. Perjalanan hijabku dan bagaimana aku mendapat hidayahnya.
***
SMP adalah waktu di mana aku mulai berkenalan dengan hijab.
Meskipun sejak SD sudah diwanti-wanti
untuk menmakai hijab, tapi aku selalu bilang “nanti saja kalau sudah SMP,
malu kalau sekarang tiba-tiba pakai hijab… nanti disangka botak.” Waktu SMP
pun, dengan alasan yang sama, hampir saja aku tidak mau menggunakan hijab saat
sekolah. Tapi kebijakan sekolah SMP waktu itu adalah semua siswa perempuan
wajib menggunakan hijab. Akhirnya dengan peraturan itu aku mulai sedikit intens
dengan hijab.
Namun hijab itu hanya kukenakan ketika di sekolah saja. Setelah pulang sekolah bahkan terhitung diperjalanan pulang sekolah pun aku sudah membukanya. Tak heran jika ada anggapan dan sindiran dari guru-guru. “Kemarin itu dikirain Ibu siapa… eh ternyata kamu, kemana hijabnya?” Dan aku hanya bisa menelan ludah.
Semenjak SMP aku sudah memiliki niat untuk memakai hijab dengan lebih sering. Jadi tidak hanya di sekolah saja tapi juga di saat bepergian selain sekolah. Namun niat itu kandas tersisih oleh rasa malu, atau ego. “Nanti saja kalau sudah SMA, supaya orang-orang tidak kaget melihatku,” begitu pikirku.
Dan setelah SMA aku mulai menerapkan niatku itu. Meskipun disekitar rumah masih tidak mengenakan hijab, saat main diluar rumah aku mulai mengenakan hijab. Syukurnya, lingkungan teman-teman sekolah juga mendukung, meskipun ada satu dua teman sekolah yang masih membuka hijabnya ketika di luar.
Ingat sekali waktu itu, media sosial seperti Facebook dan Twitter tengah booming-booming-nya. Dan disitulah
jebakan yang kedua. Foto-foto eksis, dan ber-alay ria mulai di pasang,
sayangnya tidak berhijab.
Masa kelas satu kelas dua SMA foto alay masih berlaku. Hingga akhir kelas dua, masa itu sudah luntur. Sedikt-sedikit mulai menyadari bahwa foto-foto itu sangat memalukan. Bukannya selalu begitu kalau mengenanng masa lalu?
Masa kelas satu kelas dua SMA foto alay masih berlaku. Hingga akhir kelas dua, masa itu sudah luntur. Sedikt-sedikit mulai menyadari bahwa foto-foto itu sangat memalukan. Bukannya selalu begitu kalau mengenanng masa lalu?
Kelas tiga itulah Allah mulai menjemputku dengan hidayah. Melalui dipertemukannya ku di sebuah yayasan keislaman. Saat itu aku adalah siswa beasiswa salah satu yayasan amil zakat di kotaku. Yayasan itu mewajibkan agar pesertanya ikut pelatihan dan pengkajian. Disanlah cahaya Islam mulai menghampiriku.
Tahun pertama berlalu dengan biasa saja, tak da yang berubah, tapi berbeda dengan tahun yang kedua. Ketika aku bertemu dengan seorang adik tingkatku namanya Hanisa. Diam-diam dia mulai membuat aku kagum. Hijabnya yang lebar dan perilakunya yang anggun. Teduh rasanya ketika melihat akhwat itu.
Aku adalah seorang yang menyadari betul bahwa dakwah yang dicerminkan melalui tingkah laku atau perbuatan lebih mengena daripada dakwah yang hanya sekadar ucapan. Dan tulah yang terpancar dari diri
Hanisa. Dari melihatnyalah aku mulai berkeinginan untuk menggunakan hijab yang lebar.
Hal lain adalah dengan ditawarinya aku sebagai pengisi, sebut saja kontributor di salah satu media Islam online, yang Alhamdulillah saat ini telah menjadi media Islam unggulan di Indonesia. Dari sana aku pelan-pelan memperbaiki diri.
Tahap-tahap meninggalkan hijab yang diakitkan ke leher—saat ini disebut jilb**b, fase hijab yang diputar-putar yang kata orang disebut “hijabber” , fase menggunakan hijab Paris berlapis dua, dilalui sudah. Pelan-pelan hijabku mulai menjulur meutup dada. Aku kemudian memperhatikan ketipisan hijabku. Ah kau! Tentu saja fase ini tidak mudah.
“Apa menggunakan hijab seperti itu tidak gerah?” pertanyaan yang sangat klise. Dan itu juga yang aku tanyakan kepada Hanisa waktu itu.
Ia tersenyum dan berkata, “Enggak, karena aku sudah terbiasa…”
“Aku juga ingin mengenakan hijab seperti itu, Han. Tapi aku malu, takut nanti orang-orang menganggap aku aneh karena tiba-tiba berubah, jadi kayaknya aku bakal ngerubah hijabku seperti kamu nanti pas udah kuliah…”
“Loh, kenapa… Kalau kita berubah karena Allah, kita nggak akan gentar sama omongan orang diluar sana. Justru itu adalah tantangan yang harus kita taklukan, aku yakin teteh pasti mengerti bahwa hijrah untuk yang lebih baik tidaklah mulus jalannya. Bahkan ada harga-harga yang harus dibayar, tapi semua itu akan terlewati dengan keimanan yang kuat dan keinginan mendapat ridha Allah berada di atas segalanya.”
Aku agak sedikit tersentak dengan pernyataannya. Tidak
kukira ucapan sebijak itu lahir dari seorang yang baru saja kelas satu SMA,
adik kelasku. Kata-katanya mampu meruntuhkan egoku. Bismillah… aku mulai
hijrah.
Tentu saja orang-orang di sekitarku mulai berkomentar. “Hijab kamu bikin ribet melihatnya,” “Hati-hati kamu ikut aliran sesat” “Kamu seperti ibu-ibu” begitulah pernyataan yang aku terima kemudian. Dan aku hanya membalasnya dengan senyum.
Karena aku yakin hijab itu adalah perintah Allah, dan berhijab harus seusai dengan surah Al-Ahzab. Menjulurkan hijab sampai ke dada. Namun jika hijabku lebih panjang, itu semata-mata sebagai pelindung bagiku. Penentram hati dari gangguan syaitan yang berwujud manusia hidung belang. Pelindung agar aku menjaga tatapan, menjaga hati dan menjaga diri dari berbuat maksiat.
Aku meyadari bahwa kehilafan sempat menghampiriku di masa-masa remaja awal. Dosa-dosa yang membuatku menyesal, sungguh menyesal. Namun aku mengikhlaskannya, dan itulah harga yang harus kubayar demi mendapat hidayah dari Allah.
***
Disini, ditengah gerimis yang mulai menyentuh hijab-hijab
kami, ditengah tiupan angin yang mengoyakkan hijabku, ditengah perbincangan
mengani hijab dan hidayah, aku mulai mensyukuri betapa tidak seberapa
perjuanganku untuk mendapat hidayah darinya.
Aku menghela nafas kemudian berkata, “Ya, begitulah… Karena Allah memberikan hidayah kepada kita dengan jalan berbeda-beda. Bahkan dengan harga yang mahal. Mutia sendiri harus kehilangan ayahnya dahulu ketika mendapat hiddayah, maka bersyukurlah kita yang dengan Allah dimudahkan meraihnya.”
Aku menghela nafas kemudian berkata, “Ya, begitulah… Karena Allah memberikan hidayah kepada kita dengan jalan berbeda-beda. Bahkan dengan harga yang mahal. Mutia sendiri harus kehilangan ayahnya dahulu ketika mendapat hiddayah, maka bersyukurlah kita yang dengan Allah dimudahkan meraihnya.”
“Subhanallah…” mereka bertasbih hampir berbarengan. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar