AKU tertegun, lalu sekali-kali
jari-jariku mulai menari-nari di atas tuts-tuts keyboard. Kuhapus lagi kata-kata yang makin lama makin membasi. Dan
makin lama makin membisu. Setiap
detik cerita akan mengalun tentang kepasrahan. Dan tentang tingginya harapan.
Dan setiap detik semua itu akan berjalan dengan getirnya perasaan. Penyesalan.
Telah hilang
hasratku, membawa jiwa memuja nafsu. Masa remaja yang katanya indah tak
terhingga. Hilanglah sudah dibalut penyesalan dan lara. Kata orang cintalah
yang merenggutnya.
***
Telah
kutemukan dirimu disudut waktu. Di sudut perasaan dan di sudut penantian. Terhitung tiga kali
kubertemu denganmu. Dan semua baik-baik saja. Selalu baik-baik saja. Sampai
harapan dan khayalan itu mengikiskan semuanya.
Salahkan
pemujaan itu. Diam dan cepat ia berkembang di hati. Menjelma jadi suatu yang
lain. Sering-sering memimpi. Sering-sering mengiang. Dan salahnya selalu
kuhayati.
Maghrib
yang hening. Mampu menggetarkan hatiku. Tiba-tiba menjadi kacau. Dengan diam
dan sedikit mengkhawatirkan, hatiku bergetar di hadapanmu. Ah kau! Andai saja
kau tahu waktu itu. Mungkin wajahku akan memerah dengan gurat malu.
Kurang
lebih ruang tamu tuan rumah dihiasi perbicangan seadanya. Dan hatiku mulai melambat
getarnya. Sayangnya malah diganti dengan kenyamanan yang luar biasa. Salah. Ketika
kau pergi aku merasa hampa. Inilah kesalahan selanjutnya.
Aku pulang
dengan harapan akan bertemu denganmu lagi. Dan dengan hangat kau menyambut
harapanku. Kita bertemu. Kalau tak salah untuk kali keempat. Pertemuan yang
agak lama. Mungkin saja pertemuan itu akan kita habiskan berdua, jika tak kubawa
seseorang untuk memani. Aku takut syaitan menggoda imanku. Begitu alibiku.
Telah
nampak pada dirimu bukti-bukti kekagumanku. Layak. Begitu pikirku. Dan pikiran
ini begitu nakal menyebut “Beruntunglah dia yang menjadi pasanganmu.” Dan celakalah
aku berharap demikian.
Sore
itu, matahari seakan ingin cepat berlari. Jika bisa ingin kucegah ia pergi.
Perpisahan ditengah hiruk pikuk kota. Supir, kondektur, seolah menekanku untuk
cepat meninggalkanmu. Padahal aku tak mau. Jika bisa, ingin lagi kutarik
matahari agar tak cepat menjauh darimu.
“Santai
saja,” itu katamu. Ah kau! Jika bisa ingin sekali rasanya. Dan aku menyadari
aku tak bisa. Itu terkahir kalinya aku bertemu denganmu dengan senyum menyapa.
Di sudut hiruk-pikuk kota, bayanganmu kian menghilang.
“Hubungi
aku jika butuh kubantu,” lagi katamu. Ah kau! Jika bisa ingin kuhubungimu tiap
waktu. Tapi tak terlalu anehkah itu? Padahal kau bilang “jika butuh kubantu”.
Sepanjang jalan
pulang, aku tak habis merenungi apa yang baru saja terjadi. Sepanjang lima jam
pertemuan kita. Ah kau! Kian kagum aku.
“Aku melihat cahaya cinta...” Si
Mungil ucap padaku.
“Cinta seorang kakak pada
adiknya,” jawabku.
“Bukan!” katanya. Membuat hatiku
bergetar dahsyat. Andai saja.
“Cinta? Tak realistis.”
“Tidak, kau pantas
mendapatkannya...”
Arrrgh! Harapan itu tumbuh dihatiku dengan
bringasnya. Membuatku insomnia selama berpekan-pekan. Membuatku berkayal tak
karuan. Sedangkan hati masih tetap menahan.
Kian berlalu,
aku kian menyapamu. Kau tahu? Aku menyapamu dalam kesendirian. Di balik
keterbatasan hasratku untuk menyapamu di alam nyata. Dengan bringas kusapa kau
di dunia maya. Tak kurang dua hari sekali aku selalu mengunjungi profilmu. Melihat
apa yang kau ucap dibarisan font Times
New Roman. Kian tergugah aku.
Kutemukan kau
diujung langit. Hendak terus meninggi, meninggalkan kebiasaan yang biasa saja.
Pecinta buku pecinta ilmu. Ah! Kian tersudut aku. Dilempar dan terkapar dalam
kenyataan. Punguk merindukan bulan.
Lagi-lagi, kata
“tak realistis” ini muncul dari mulutku. Menghentak hati. Menggetar jiwa.
Berapa kali kucoba menerpa. Arrgh! Perasaan ini kian beringas tumbuh di
dalamnya.
Setiap hari, aku
selalu tengok kamar kostmu. Dengan tiga tujuan. Melihatmu terdiam, melihatmu
tersenyum, dan menyapamu. Ah! Itu hanya harapan.
Sudah hampir
sebulan aku berada dekat denganmu. Tapi semakin jauh ternyata aku. 500 meter
perjalanan ke kampus. Setiap ruas jalan aku selalu menghayalkan akan bertemu
denganmu. Dan kian lambatlah kakiku saat itu. Dan lagi... Tak pernah kutemukan
dirimu di sudut sana. Ah kau! Kian terhenyak aku.
Ingin kubunuh.
Kubunuh. KUBUNUH persaan ini. Oh! Betapa susahnya. Malu rasanya aku. Jika di
padang Makhsyar kau tahu aku mengharapkanmu. Malu rasanya aku dengan rabbku. Ia
tahu aku memikirkanmu yang belum halal untukku.
Dalam sunyi aku
menjerit sendiri. Tak ada yang mengerti. Mereka hanya tau jika kau telah
menyentuh hatiku. Mereka hanya tahu bahwa aku tersiksa karena tak kuasa
mengatakannya. Karena aku
seorang wanita.
Padahal bukan
itu. Sama sekali. Terlalu dangkal jika demikian. Ah sudahlah! Biar Allah yang
menilainya.
Inginku
perbaiki diri, tanpa jiwa dikurung nafsu. Ingin kuperbaiki diri menjadi makhluk
pecinta Ilahi. Mencinta dengan ridhonya. Bukan mencinta dengan
penyesalan pada ujungnya. Biarlah kusucikan rasa. Kusucikan dirimu. Hanya
dengan halal saja. Tapi tak mengerti pula mereka. Tak mengerti juga dirimu.
Dan seterusnya
cerita ini kian membasi. Basi.
Hingga suatu
waktu, Allah mengizinkan aku bertemu. Kulihat kau di seberang jalan. Mungkin kau baru saja akan pulang. Entah kau
melihatku atau tidak. Tapi aku berharap kau tak melihat saja. Karena aku tak
ingin merasa bersalah karena tak menyapa.
Dan kecelakaan
terjadi pada hatiku. Genderam bunyinya kembali bertalu. Entah. Bukan seperti
yang ada pada bayangan: Aku melihatmu, aku melihatmu tersenyum, aku menyapamu.
Sebaliknya.
Jika tak
kupaksa. Mungkin kakiku tak akan bergerak di tengah jalan. Jika tak kusebut
nama Sang Pemberi Cinta, mungkin yang terjadi adalah jeritan yang membahana.
Jangankan menyapamu, melihat raut wajahmu aku tak mampu.
Tak mampu
menahan rasa bersalah telah memendamnya. Tak mampu membiar ini mengakar
selamanya. Tak mampu bertanggungjawab pada dia Sang Pemberi Cinta. Kau tak
halal... Tak halal.
Allah...Allah...
Dahsyatnya gempa hatiku. Sekira 500 meter perjalanan menuju pulang. Getarnya
terus membahana. Kusebut nama tuhanku. Allah, Allah, Allah, dalam setiap gerak
kakiku. Berkaca-kaca aku.
Berat langkah
kakiku. Dan lagi kutengok kamar kostmu. Meski ku tau kau pasti tak ada. Dan
hampir saja aku rubuh. Jika tuhan tak beri kekuatan untuk berjalan.
Aku tak kuat.
Allah... Kau yang bersaksi. Pertahanan itu runtuh juga. Tepat di depan pintu
kamarku. Disaksi sunyi, kemudian disambut suara adzan maghrib.
“Allahu
Akbar... Allahu Akbar...” begitulah bunyinya.
Maghrib ini aku
telah kehilangan. Pertahanan dalam desir jiwaku. Aku runtuh, di atas sajadah kubersimpuh.
Aku kotor berlumur dosa. Air mata ini runtuh juga. Air mata yang kuharamkan.
Air mata karena menangisi ketidak halalan.
Allah aku
bersimpuh. Berhusnudzan kau ampunkan air mataku. Allah aku telah lengah,
membiarkan hati dirundung cinta yang salah. Allah sentuh hatiku, dengan gema
cintamu, bahanalah bunyi panggilanmu.
Hayyaa a’lalfalaah...
Kembalikanlah aku. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar