Jumat, 30 Januari 2015

Gema Cinta, Membahanalah Dia




AKU tertegun, lalu sekali-kali jari-jariku mulai menari-nari di atas tuts-tuts keyboard. Kuhapus lagi kata-kata yang makin lama makin membasi. Dan makin lama makin membisu. Setiap detik cerita akan mengalun tentang kepasrahan. Dan tentang tingginya harapan. Dan setiap detik semua itu akan berjalan dengan getirnya perasaan. Penyesalan. 

       
Telah hilang hasratku, membawa jiwa memuja nafsu. Masa remaja yang katanya indah tak terhingga. Hilanglah sudah dibalut penyesalan dan lara. Kata orang cintalah yang merenggutnya.
***
            Telah kutemukan dirimu disudut waktu. Di sudut perasaan  dan di sudut penantian. Terhitung tiga kali kubertemu denganmu. Dan semua baik-baik saja. Selalu baik-baik saja. Sampai harapan dan khayalan itu mengikiskan semuanya.
            Salahkan pemujaan itu. Diam dan cepat ia berkembang di hati. Menjelma jadi suatu yang lain. Sering-sering memimpi. Sering-sering mengiang. Dan salahnya selalu kuhayati.
            Maghrib yang hening. Mampu menggetarkan hatiku. Tiba-tiba menjadi kacau. Dengan diam dan sedikit mengkhawatirkan, hatiku bergetar di hadapanmu. Ah kau! Andai saja kau tahu waktu itu. Mungkin wajahku akan memerah dengan gurat malu.
            Kurang lebih ruang tamu tuan rumah dihiasi perbicangan seadanya. Dan hatiku mulai melambat getarnya. Sayangnya malah diganti dengan kenyamanan yang luar biasa. Salah. Ketika kau pergi aku merasa hampa. Inilah kesalahan selanjutnya.
Aku pulang dengan harapan akan bertemu denganmu lagi. Dan dengan hangat kau menyambut harapanku. Kita bertemu. Kalau tak salah untuk kali keempat. Pertemuan yang agak lama. Mungkin saja pertemuan itu akan kita habiskan berdua, jika tak kubawa seseorang untuk memani. Aku takut syaitan menggoda imanku. Begitu alibiku.
            Telah nampak pada dirimu bukti-bukti kekagumanku. Layak. Begitu pikirku. Dan pikiran ini begitu nakal menyebut “Beruntunglah dia yang menjadi pasanganmu.” Dan celakalah aku berharap demikian.
            Sore itu, matahari seakan ingin cepat berlari. Jika bisa ingin kucegah ia pergi. Perpisahan ditengah hiruk pikuk kota. Supir, kondektur, seolah menekanku untuk cepat meninggalkanmu. Padahal aku tak mau. Jika bisa, ingin lagi kutarik matahari agar tak cepat menjauh darimu.
            “Santai saja,” itu katamu. Ah kau! Jika bisa ingin sekali rasanya. Dan aku menyadari aku tak bisa. Itu terkahir kalinya aku bertemu denganmu dengan senyum menyapa. Di sudut hiruk-pikuk kota, bayanganmu kian menghilang.
            “Hubungi aku jika butuh kubantu,” lagi katamu. Ah kau! Jika bisa ingin kuhubungimu tiap waktu. Tapi tak terlalu anehkah itu? Padahal kau bilang “jika butuh kubantu”.
Sepanjang jalan pulang, aku tak habis merenungi apa yang baru saja terjadi. Sepanjang lima jam pertemuan kita. Ah kau! Kian kagum aku.
“Aku melihat cahaya cinta...” Si Mungil ucap padaku.
“Cinta seorang kakak pada adiknya,” jawabku.
“Bukan!” katanya. Membuat hatiku bergetar dahsyat. Andai saja.
“Cinta? Tak realistis.”
“Tidak, kau pantas mendapatkannya...”
Arrrgh! Harapan itu tumbuh dihatiku dengan bringasnya. Membuatku insomnia selama berpekan-pekan. Membuatku berkayal tak karuan. Sedangkan hati masih tetap menahan.
Kian berlalu, aku kian menyapamu. Kau tahu? Aku menyapamu dalam kesendirian. Di balik keterbatasan hasratku untuk menyapamu di alam nyata. Dengan bringas kusapa kau di dunia maya. Tak kurang dua hari sekali aku selalu mengunjungi profilmu. Melihat apa yang kau ucap dibarisan font Times New Roman. Kian tergugah aku.
Kutemukan kau diujung langit. Hendak terus meninggi, meninggalkan kebiasaan yang biasa saja. Pecinta buku pecinta ilmu. Ah! Kian tersudut aku. Dilempar dan terkapar dalam kenyataan. Punguk merindukan bulan.
Lagi-lagi, kata “tak realistis” ini muncul dari mulutku. Menghentak hati. Menggetar jiwa. Berapa kali kucoba menerpa. Arrgh! Perasaan ini kian beringas tumbuh di dalamnya.
Setiap hari, aku selalu tengok kamar kostmu. Dengan tiga tujuan. Melihatmu terdiam, melihatmu tersenyum, dan menyapamu. Ah! Itu hanya harapan.
Sudah hampir sebulan aku berada dekat denganmu. Tapi semakin jauh ternyata aku. 500 meter perjalanan ke kampus. Setiap ruas jalan aku selalu menghayalkan akan bertemu denganmu. Dan kian lambatlah kakiku saat itu. Dan lagi... Tak pernah kutemukan dirimu di sudut sana. Ah kau! Kian terhenyak aku.
Ingin kubunuh. Kubunuh. KUBUNUH persaan ini. Oh! Betapa susahnya. Malu rasanya aku. Jika di padang Makhsyar kau tahu aku mengharapkanmu. Malu rasanya aku dengan rabbku. Ia tahu aku memikirkanmu yang belum halal untukku.
Dalam sunyi aku menjerit sendiri. Tak ada yang mengerti. Mereka hanya tau jika kau telah menyentuh hatiku. Mereka hanya tahu bahwa aku tersiksa karena tak kuasa mengatakannya. Karena aku seorang wanita.
Padahal bukan itu. Sama sekali. Terlalu dangkal jika demikian. Ah sudahlah! Biar Allah yang menilainya.
Inginku perbaiki diri, tanpa jiwa dikurung nafsu. Ingin kuperbaiki diri menjadi makhluk pecinta Ilahi. Mencinta dengan ridhonya. Bukan mencinta dengan penyesalan pada ujungnya. Biarlah kusucikan rasa. Kusucikan dirimu. Hanya dengan halal saja. Tapi tak mengerti pula mereka. Tak mengerti juga dirimu.
Dan seterusnya cerita ini kian membasi. Basi.
Hingga suatu waktu, Allah mengizinkan aku bertemu. Kulihat kau di seberang jalan.  Mungkin kau baru saja akan pulang. Entah kau melihatku atau tidak. Tapi aku berharap kau tak melihat saja. Karena aku tak ingin merasa bersalah karena tak menyapa.
Dan kecelakaan terjadi pada hatiku. Genderam bunyinya kembali bertalu. Entah. Bukan seperti yang ada pada bayangan: Aku melihatmu, aku melihatmu tersenyum, aku menyapamu.
Sebaliknya.
Jika tak kupaksa. Mungkin kakiku tak akan bergerak di tengah jalan. Jika tak kusebut nama Sang Pemberi Cinta, mungkin yang terjadi adalah jeritan yang membahana. Jangankan menyapamu, melihat raut wajahmu aku tak mampu.
Tak mampu menahan rasa bersalah telah memendamnya. Tak mampu membiar ini mengakar selamanya. Tak mampu bertanggungjawab pada dia Sang Pemberi Cinta. Kau tak halal... Tak halal.
Allah...Allah... Dahsyatnya gempa hatiku. Sekira 500 meter perjalanan menuju pulang. Getarnya terus membahana. Kusebut nama tuhanku. Allah, Allah, Allah, dalam setiap gerak kakiku. Berkaca-kaca aku.
Berat langkah kakiku. Dan lagi kutengok kamar kostmu. Meski ku tau kau pasti tak ada. Dan hampir saja aku rubuh. Jika tuhan tak beri kekuatan untuk berjalan.
Aku tak kuat. Allah... Kau yang bersaksi. Pertahanan itu runtuh juga. Tepat di depan pintu kamarku. Disaksi sunyi, kemudian disambut suara adzan maghrib.
“Allahu Akbar... Allahu Akbar...” begitulah bunyinya.  
Maghrib ini aku telah kehilangan. Pertahanan dalam desir jiwaku. Aku runtuh, di atas sajadah kubersimpuh. Aku kotor berlumur dosa. Air mata ini runtuh juga. Air mata yang kuharamkan. Air mata karena menangisi ketidak halalan.
Allah aku bersimpuh. Berhusnudzan kau ampunkan air mataku. Allah aku telah lengah, membiarkan hati dirundung cinta yang salah. Allah sentuh hatiku, dengan gema cintamu, bahanalah bunyi panggilanmu.
Hayyaa a’lalfalaah...
Kembalikanlah aku. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar