Sebuah Cerpen, karya Disya.
AKU bisa melihat gurat keraguan di wajahnya. Berkali-kali
ia tampak menelan ludah. Aku belum bisa menduga apa yang ia ingin ucapkan
kepadaku.
Sementara itu aku masih memegang ponselku. Sesekali
kuarahkan pandanganku, ketika kurasakan ponselku bergetar. Kulihat Aliya
mengirimku pesan LINE. Namun sesungguhnya aku tidak fokus dengan apa yang
dipesankan Aliya. Pacarku, ya… Entah kata orang dia pacarku. Tapi aku sendiri
tak pernah merasa mengikatkan hubungan lebih dari sekadar ikatan pertemanan
dengannya.
“Aku ingin kamu putus dengan Aliya, Riki...” Katanya
dengan suara agak serak. Semilir angin di balkon sekolahku dingin menyengat
tubuh. Kupikir itu juga yang membuat suaranya agak serak.
Aku terkejut dengan pernyataannya barusan.
“Aku nggak rela kamu jadian dengan Aliya,” lanjutnya.
“Kamu kenapa, tiba-tiba berkata begitu? Bukannya sudah
kubilang, aku dengan Aliya tidak ada apa-apanya…” jawabku.
Beberapa detik berlalu hanya hening di antara kami
berdua. Ia tampak tertunduk dan murung seperti menahan sesuatu. Sedangkan aku
masih menunggunya membuka mulut.
“Bagaimana mungkin kamu bilang kamu tidak ada apa-apa
dengannya, sedangkan hamper semua teman di kelas tahu bahwa kamu memiliki
hubungan dengan Aliya. Tapi bukan itu yang mengganjal pikiranku, Riki,”
“Lalu apa?”
“Kau… Kau mulai berubah. Aliya telah merebutmu dariku.
Aku tahu ini gak wajar… seharusnya aku sebagai temanmu mendukungmu bersama
Aliya. Tapi, aku tahu Aliya tidak pernah mengerti kamu… Justru aku yang selalu
mengerti kamu,”
Entah kenapa aku mulai merinding mendengar kata-katanya.
Mungkinkan ia… maksudku… ah! Ini tidak mungkin, bagaimana mungkin aku
berpikiran seperti itu. Dia hanya menganggapku teman. Dan selamanya akan tetap
begitu. Tapi aku masih belum mengerti kenapa dia berkata demikian.
“Tolonglah, Riki. Tolong mengerti perasaanku. Aku, aku…
maafkan aku, aku mencintaimu…” jawabnya kemudian.
Aku benar-benar tersentak.
“Astagfirullah, Ramlan. Sadar!!! Kamu ini laki-laki, aku
juga laki-laki. Mana mungkin kamu bisa cinta denganku. Ini haram. Dilarang oleh
agama.”
“Riki, maafkan aku…”
“Dengar! Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan
Aliya. Cukup gosip itu membuatku pusing. Jangan kamu tambah lagi pusing
kepalaku dengan statemen yang aneh itu… tolong hentikan semua ini. Tobat
Ramlan, tobat… Astagfirullah!”
Aku benar-benar tak percaya mendengar ucapan Ramlan.
Serta merta aku meninggalkannya.
Dari kejauhan, aku masih melihat Ramlan duduk menundukkan
kepala. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar