“Aku ingat kok ulang tahun kamu…”
Malam semakin larut. Jari tangan kiriku mengetuk-etuk meja belajar, sedang tanganku yang lain masih menggenggam ponsel di telingaku. Ada jeda yang cukup panjang saat itu. Entah apa yang ada di pikirannya, namun bagiku malam itu ingin cepat saja kuakhiri semua perbincangan ini. Ya, semuanya.
“Aku nggak papa kok, lagian ulang tahun itu nggak terlalu penting kan?” nada suaranya parau, tanda ia mengingkari ucapannya.
“Sungguh? Padahal aku baru mau ngucapin selamat ulang tahun lho…” aku tersenyum. Sebenarnya agak memaksakan.
Ia malah balas dengan gelak tawa. Gelak tawa yang akhirnya membuat ini semakin pedih.
“Eh, gimana ngaji kamu? Nggak bolong-bolong kan?” Entah kenapa aku malah bertanya demikian. Padahal sudah kupikirkan akan kukatakan apa saja malam itu.
“Ya gitu deh… besok mau ada kumpulan buat nyiapin acara maulidan… aku jadi MC-nya, keren kan,”
“Bagus…bagus… hehehe.”
“Tapi…” ujarnya kemudian.
“Kenapa kamu menghilang selama beberapa hari terakhir?”
Aku menghentikan aktivitas jari kiriku. Aku mulai gusar. Ya… seharusnya ini tidak boleh terjadi. Toh aku sudah yakin dengan semuanya. Termasuk saat memencet nomor kontaknya malam itu. Oh, god! ternyata ini tetap saja bukanlah hal mudah bagiku.
“Aku ada…”
“Bagaimana mungkin, kamu baru menghubungiku malam ini… ini telat dua minggu setelah hari ulang tahunku bukan?” nadanya agak sumeringah sekarang.
“Hei… maafkan aku soal itu. Yaya! Aku doakan semoga kamu kelak jadi pemimpin yang baik, baik rizkinya, sehat dan berkah umurnya. Well… maaf kalau cuma doa yang bisa aku beri, nyatanya aku gak mampu buat ngucapin happy birtday, atau HBD, atau met milad kayak orang yang berjubel di facebook kamu itu…”
“Hahahahaha….”
Dan lagi-lagi tawanya itu hanya menyisakan pedih.
“Hem… tapi kamu tahukan alasannya kenapa?”
“Ya! Aku ngerti… karena ulang tahun itu nggak ada dalam Islam kan?” Ia tertawa ringan.
Aku tersenyum tipis. Menarik napas dalam.
“Ya! Sama seperti kita saat ini…” Suaraku mulai bergetar.
Ia menghentikan tawanya. Keheningan menyergap pembicaraan malam itu. Aku menerawang kamarku. Cicak di dinding mendadak berhenti berjalan, seolah ikut menguping pembicaraan ini. Membuat malam semakin sunyi, dan menyisakan detak jam saja.
Ia masih ada, layar ponselku masih menunjukkan namanya. Detik masih berjalan.
“Hai… kamu masih disitu?” kataku kemudian.
“Kenapa?” jawabnya.
“Kenapa? Kenapa…?”
“Kenapa dengan sama seperti kita?”
Aku menelan ludah. “Coba koreksi apa yang salah dengan kata-kataku…”
Dia diam lagi.
“Halo… kamu masih disitukah?”
“Iya.”
“Apa ada yang salah dari kata-kataku?”
“Tidak…”
“Lalu…”
“Apa kamu ingin mengakhiri panggilan ini? Ini sudah malam… besok kita akan sama-sama ujian bukan?”
Ah! perbincangan ini akan kembali pada titik semula. Aku mengetuk-etuk lagi jari kiriku di atas meja. Kebimbangan kini menyergapku. Oh! No… aku tidak boleh menarik kembali kata-kataku.
“Aku ingin memastikan sesuatu… mari kita bicara sebentar, apakah hal yang kita lakukan saat ini ada?” jawabku kemudian.
“Tentu saja tidak… kamu tahu itu!”
“Maksudku, kenapa kita tidak…. ya! Kenapa kita tidak akhir saja…”
“Telpon ini akan aku akhiri…”
“Tidak, tidak hanya telpon ini… tapi telpon-telpon selanjutnya…”
“Jadi itu yang ingin kamu katakan sejak tadi?”
“Maafkan aku, tapi jujur itu iya…”
Aku mendengar hembusan napasnya yang mulai melambat.
“Aku ingin sekali menjitak kepalamu malam ini… bagaimana mungkin kamu bisa memutar-mutar pembahasan ini ke ulang tahun, lalu kesana kemari padahal hanya untuk mengungkapkan ini. Dan aku seharusnya sadar kenapa kamu menghilang selama ini, dasar! Mengkhawatirkanku saja. Tidak usah sejauh itu kalau mau begini…. baiklah!”
Ia berhenti berkata.
“Jadi…?”
“Apa perlu aku perjelas… aku yakin kamu orang yang selalu paham ucapanku. Bukankah kamu selalu memiliki kebiasaan untuk menebak. Kenapa sekarang perlu penjelasan lagi…”
“Hem… oke. Maafkan, malam ini aku sedang enggan menebak.”
“Ini sudah malam… cepat tidur.”
Aku tersenyum, “Kita akan baik-baik saja kan?”
“Tentu saja…” jawabnya.
Aku menarik napas.
“Assalamualaikum…” suaranya terdengar tegas saat ini.
“Waalaikumsalam…”
Aku menyandarkan bahuku di dinding kamarku. Entah kenapa, seolah ada yang meninju dadaku malam itu. Namun, ada pula beban yang terbawa pergi, hilang entah kemana. Malam itu tetap hening. Hingga jam dinding pun tak berani bersuara. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar