Pada satu titik banyak perempuan dinobatkan sebagai perempuan yang kuat. Dia bisa angkat kursi dibilang kuat. Dia bisa patah hati masih dibilang kuat. Lebih lagi, katanya, perempuan bisa punya hak seperti laki-laki.
Sama-sama bisa pergi kesana kemari. Sama-sama bisa mengecap pendidikan lebih tinggi. Sama-sama bisa memimpin sebagai laki-laki.
Tapi, nyatanya, tak semudah itu bagiku. Sejak kecil orang berkata bahwa aku memiliki kemampuan yang lebih daripada yang lain. Meskipun aku tak paham kemampuan seperti apa yang mereka maksud. Amana-amanah mulai sering diberikan padaku. Mulai dari hal bersifat seni seperti berdrama dan membaca puisi. Sampai hal yang dianggap serius. Jadi ketua kelas atau jadi bendahara kelas. Dan jabatan itu terus naik levelnya ketika remaja dan kini menginjak dewasa. Sampai mereka menganggap bahwa aku perempuan strong.
Namun, tanpa disadari, justru itulah yang membuatku menjadi manusia yang amat lemah. Aku tak bangga disebut perempuan strong. Karena disitulah letak masalahnya. Mereka menggapa apa apa bisa kukerjakan sendiri. Padahal aku sungguh kepayahan. Bahkan sampai mengerjakan 2+2 pun aku tak mampu.
Begitu pula dengan Apa. Sejak kecil dia mengharuskanku untuk mandiri. Ibu juga. Meski akhir akhir ini ia sadar kalau ia terlalu keras mendidiku.
Tahukah kau, dipola seperti itu kadang aku merengek merasa kesepian. Kau... aku sangat cemburu ketika orang lain mendaftarkan kuliah bersama orang tuanya. Bahkan aku tidak bisa begitu.
Kau aku sangat cemburu ketika kulihat seorang ayah yang rela memberikan apapun untuk anaknya. Tapi mengapa berbeda dengan Apa? Apakah Apa pernah cemburu ketika aku dijemput tukang ojeg pangkalan jam 6 sore. Apa, cemburulah sekali saja melihat orang tua lain mengantar jemput anaknya. Apa, tolong khawatirkan aku sekali saja.
Apa, aku kali ini bukan ingin menjadi anak yang manja. Tapi, aku tahu Apa, suatu saat nanti akan ada sesal ketikaku telah diboyong pergi. Apa tolong cemburulah sekali saja. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar