Selasa, 20 September 2016
Mih, Aku Pamit
Pagi ini, ketika aku beranjak dari tempat tidurku. Entah kenapa aku ingin sekali menyapamu, Mamih.
Perlahan aku menghampiri tempat tidurmu. Kini tempat tidurmu penuh sesak! Sesak dengan bantal, guling, tumpukkan baju-bajumu, Mamih. Aku ingin menyapamu. Tapi tak kutemukan dirimu disana, Mamih.
Aku mencium aroma baju-bajumu. Mencium bantal-bantal, berharap ada seberkas wangi tubuhmu, Mamih. Lalu kubuka lemarimu. Sederet baju-bajumu tergantung disana. Aku memeluknya dan menciumnya. Ah! Mamih selamat pagi!
“Mamih, seminggu lagi aku mau UN, doakan aku ya!”
Hening.
“Mamih, itu tandanya sebentar lagi aku akan pergi dari rumah ini, Mamih gak akan kesepian kan tanpa aku?”
Hening.
***
Mamih, hampir tiga tahun ini Mamih bukan lagi nenek ku, Mamih adalah Mamahku. Setiap pagi Mamih bangunkan aku, membuka pintu kamar yang mengagetkanku dan membuatku merasa jengkel sesekali. Ketika aku masih sibuk bercinta dengan bantal dan gulingku, Mamih sudah hilir mudik kesana-kemari menyiapkanku sarapan.
Mamih, ada saat dimana ketika itu aku benar-benar tidak nafsu makan. Mamih Mamih selalu mengomeli-ku karena setiap makan aku tak pernah habis. Sampai porsi makan selalu berubah-ubah setiap hari agar aku mau makan. Kuarang ajar ya aku, Mih! Selalu merepotkanmu.
Setiap aku capek di hari minggu, tiba-tiba baju-bajuku sudah tergantung bersih, kamarku sudah rapi. Ketika aku membutuhkan sesuatu, Mamih selalu membantuku untuk mengatakannya pada Mamah. Ah! Mamih perhatian sekali.
Sampai suatu hari Mamih mungkin menyadari juga, ada yang aneh dengan nafsu makanku, Mamih orang pertama yang membujukku untuk pergi ke dokter.
“Mamih nanti kalau di dokter gak disuntik kan?” kataku.
Mamih meyakinkanku agar aku tak takut.
Ah! Mamih. Akhirnya kita juga tahu. Aku bukannya tak mau bersyukur dengan membuang-buang makanan. Aku memang tidak nafsu makan. Akhirnya kita tahu kan penyebabnya. Aku sakit, Mamih.
Mamih, diharuskan minum obat selam enam bulan itu rasanya gak enak banget. Apalagi harus disiplin. Kata dokter kalau aku tidak minum obat sehari saja aku mengulang lagi dari awal. Dan Mamih adalah orang pertama yang paling rewel. Aku kesal. Tapi mengingat obat Mamih juga menumpuk, aku akhirnya bersyukur.
Mamih, terimakasih. Akhirnya aku sembuh. Berkat kasih sayang Mamih. Mamih tau gak? Kata Mamih kan aku gak boleh pacaran. Padahal di belakang Mamih aku pernah pacaran. Maaf ya Mamih.
Tapi, Mih. Aku berpikir sebuah keputusan aneh. Eh, tunggu ini aneh gak ya? Aku pikir orang yang pacaran itu adalah orang yang kekurangan kasih sayang dari keluarganya. Mamih, setiap hari Mamih memberikan kasih sayang terbaik untukku. Maka, setelah aku menyadari itu. Aku putuskan pacarku. Toh, kasih sayang dari Mamih juga sudah cukup.
I love you, Mamih. Hari-hari kita berjalan luar biasa dan penuh kasih sayang.
Mamih, aku ingat aku pernah berbohong dan pernah menyengsarakan Mamih. Oh Maaf! Ketika aku bilang mau ke Bandung. Mamih tanya keperluanku ke Bandung. Aku bilang ada acara sekolah. Padahal aku ke Bandung cuma pengen jalan-jalan bareng temen.
Waktu itu kata temen-ku, aku mesti bawa senter karena kita mau ke Goa Jepang, Mih. Tanpa sepengetahuan Mamih aku bawa senter dirumah. Kemudian waktu maghrib sampai ke Purwakarta ternyata mati lampu.
Aku menelefon Mamih, aku tanya Mamih mau makan apa? Aku pikir dirumah pasti gak ada apa-apa. Mamih bilang belikan nasi saja, dan suruh cepat-cepat pulang karena dirumah mati lampu. Mamih tidak menemukan senter dimana-mana. Maaf ya Mamih, sampai kapanpun Mamih gak akan menemukan senter dirumah!
Saat pulang ke rumah, kita makan bersama. Aku bilang aku gak bawa oleh-oleh dari Bandung. Cuma bawa mochi. Mamih bilang kenapa gak bawa strawberry lebih seger, atau mangga, Mamih bilang Mamih sudah lama gak makan Mangga. Saat itu merasa bersalah, Mih. Lalu aku bertekad dalam hati. Karena aku baru saja diberi pekerjaan, gaji pertama akan kubelikan mangga untuk Mamih.
Setelah makan aku ngobrol sambil tiduran di kursi dalam keadaan gelap.
“Ih, lampu teh iraha hurungna atuh mangkaning aya bola,” kataku.
Yah! Waktu itu aku ingat malam itu ketika Indonesia melawan Korea Selatan. Ketika dijalan aku sudah ingin pulang kerumah untuk menonton. Tapi tahu dirumah mati lampu. Aku kesal luar biasa, Mih. Sampai akhirnya aku ketiduran.
Ajaibnya. Ketika lampu hidup. Mamih membangunkanku. Segera ku sambar remot TV dan menonton bola. Mamih perhatian sekali, terimakasih Mamih.
*
Mamih setelah itu, hari-hari berjalan jadi lebih sulit. Apalagi setelah dirumah ada penghuni baru selain kita berdua. Ah! Shiiit…!
Mamih jadi sering sakit-sakitan. Mamih sering melamun sendiri. Aku pikir saatnya aku yang mesti merawat Mamih. Aku jadi sering mondar-mandir rumah sakit bareng Mamih. Menginap setiap malam dirumah sakit ketika Mamih dirawat. Padahal dulu aku paling males ke rumah sakit.
Setelah pulang, setiap pagi aku menyempatkan diri menyiapkan obat Mamih. Mencarikan Mamih sarapan, membuatkan teh hangat untuk Mamih. Ketika malam tiba kita selalu bercerita, di depan tv. Sambil memijiti punggung atau kaki Mamih. Porsi bercerita aku ke Mamih bahkan lebih banyak daripada porsi ceritaku ke Mamah. Itu indah!
Aku ingat waktu itu Mih, aku pernah bilang, “Mih, aku sudah kelas tiga, kalau aku kuliah nanti, Mamih siapa yang jagain?”
Mamih nanya emang mau kuliah dimana. Aku jawab maunya di Bandung. Mamih terus bilang Mamih udah biasa sendiri. Ah! Mamih itu jawaban yang paling menyedihkan yang aku dengar.
***
Menghitung hari menuju UN ini, aku jadi teringat masa itu, Mih. Ketika itu aku takut hari-hari ini terjadi. Karena aku takut meninggalkan Mamih sendiri di rumah ini.
Tapi lihatlah sekarang. Ternyata Mamih yang meninggalkan kami lebih dulu, Mamih meninggalkan aku leih dulu sebelum aku meninggalkan Mamih.
Kini tempat tidur Mamih yang dulu rapi sekarang penuh dengan tumpukkan sesuatu yang tidak jelas. Kini tempat tidur Mamih hening. Padahal dulu disini setiap pagi ayat Al-Quran selalu dibacakan oleh Mamih.
Akhirnya, Mamih harus pergi meninggalkan aku dirumah ini bersama orang-orang freak itu! Akhirnya aku harus melewati hari-hari tersulit dalam hidupku dengan kesendirian. Rumah ini sepi, Mih!
Mamih Seminggu lagi aku UN, Sebulan lagi aku akan meninggalkan rumah ini. Tidak seperti datang aku disambut Mamih. Sekarang aku pulang hanya melihat tumpukan baju Mamih.
Terimakasih sudah melewati hari-hari bersamaku dua tahun terakhir di rumah ini. Akhirnya hari-hari ini datang juga.
Mih, aku pamit!
Februari 2014. Dikala aku merindumu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar