AKU punya dua orang adik. Dua-duanya laki-laki. Adikku yang
pertama namanya Ridwan, sekarang baru kelas lima SD. Adikku yang kedua namanya
Syahrul, usianya sekira lima tahun. Sejak aku berada di rumah, setiap hari aku
bermain dengan mereka berdua. Sekaligus menjaganya.
Entah kenapa Syahrul akhir-akhir ini sedang rewel-rewelnya.
Inginnya ikut ibunya saja. Setiap pagi selalu menangis karena ingin ikut ibu
pergi ke sekolah—ibuku seorang guru. Berisik sekali tapi kadang-kadang kasihan
jerit-jerit. Ya mau apa lagi…
Termasuk pagi ini. Tak seperti biasanya Syahrul bangun pagi,
dan ia tahu ketika ibuku tengah bersiap. Mengetahui ibu berangkat tanpa
mengajaknya, otomatis syahrul histeris. “Hayay ka Mamah…” maksudnya: Ingin ke
Mamah. Jerit-jerit sambil bawa-bawa tas Angry
Bird-nya.
Syahrul akhirnya jalan sendiri menjauhi halaman rumah.
Diam-diam aku mengkutinya. Syahrul berhenti menangis, tapi mungkin dia masih
galau :D. Di tengah perjalanannya aku berinisiatif mengajaknya ke warung tapi dia
juga tidak berhenti menangis. Dia masih diam ditempat.
Saat itu dua anak kecil melewati aku dan syahrul. Aku tahu
betul dia anak yang suka main ke rumah baruku, ayahnya kerja jadi penjaga
lahan. Anak-anak itu sering bermain, dan kuingat salah satu anaknya bernama
Ajeng.
Ajeng dan adiknya, yang hampir sepantar berjalan dengan
membawa uang ditangannya. Aku tidak bisa memastikan berapa jumlahnya. Kemudian
aku menyapanya…
“Mau kemana? Mau jajan…?” kataku.
“Mau ke warung jawab Ajeng sambal menuntun adiknya,”
“Tuh, Salung jajan yuk! Main sama Ajeng, Yuk!” Bujukku ke
Syahrul.
Tapi Syahrul masih bergeming. Matanya masih sayu. Aku sudah
bingung bagaimana mengobati kegalauan adikku ini.
Tak lama setelah itu, dua anak itu kembali dengan tangan
hampa. Ah! Sepertinya uangnya masih ada. Kemudian aku bertanya lagi.
“Loh, kok udah
balik lagi,” terkesan basa-basi bukan?
“Iya, berasnya belum ada…” kata Ajeng.
Aku agak tersentak. Aku pikir mereka berdua ingin jajan.
Seperti yang biasanya aku lakukan dengan Syahrul. Dan seperti yang biasanya
anak kecil lain lakukan. Aku ingat betul itu jam setengah tujuh pagi. Mendengar
pernyataannya aku yakin mereka belum makan. Gusti… Aku mulai menghela napas.
Dua anak itu terlihat bisa-biasa saja. Tidak ada raut
kesedihan, sebaliknya malah tampil ceria. Apakah mereka sudah terbiasa? Sungguh
salut aku melihat mereka berdua. Pagi-pagi membantu ibu mencari beras. Aku tahu
bagaimana kehidupan ekonominya.
Aku menoleh kearah Syahrul. Dia agak sedikit tenang
sekarang.
“Teteh hayay ka harep…” kata Syahrul (Teteh ingin ke depan).
Dia menuntun tanganku. Alhamdulillah… dia gak serewel tadi. Kemudian pikiranku
mulai melayang kepada Ajeng dan adiknya, seandainya dia dan adik-adiknya rewel
ingin makan nasi pagi itu, apakah yang akan terjadi? Duh… Aku mulai meringis.
“Mereka hebat,” lirihku.
Aku dan adikku terus berjalan menapakki jalanan becek pagi
itu. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar