Sabtu, 14 Februari 2015

Why I Choose ‘BK’? (1)

Foto: Konselingkita.com

“MENGAPA memilih BK?”

Beberapa saat yang lalu, aku ditanya oleh seorang guruku. Pertanyaan yang telah berualang kali aku dengar. Mulai dari temanku, kakak tingkatku, guru-guruku, kerabat jauh dan dekat. Ironisnya sampai saat ini jawaban yang kuberikan selalu berubah-ubah.


Ya! Tentu saja, aku bingung menjelaskannya. Dari sekadar jawaban logika, mainstream, sampai jawaban yang seolah menyalahkan takdir. Tapi sungguh tidak ada yang salah dari takdir.
Aku tidak pernah bermimpi jadi seorang konselor, psikolog, psikiater atau sebagainya. Malah justr teman dekatkulah yang bercita-cita ingin menjadi psikolog. Aku bahkan tidak pernah bercita-cita menjadi seorang guru, ya! Setidaknya hingga enam bulan yang lalu.

Sejak kecil cita-citaku selalu berubah-ubah, dari yang tadinya ingin jadi sekretaris direktur, konsultan bisnis, penulis, akuntan, hingga baru-baru ini jadi jurnalis. Perjalanan itu tidaklah berjalan mulus. Ketika menginjak sekolah menengah atas aku mencoba masuk ke jurusan perkantoran demi mengejar cita-cita menjadi sekretaris. Namun tingga badan mengandaskan impianku. Saat itu syarat utama masuk ke jurusan sekretaris harus memiliki tinggi badan 150cm. Aku hanya memiliki tinggi 146 cm, itu pun dengan latihan loncat sebelumnya. Cita-cita jadi konsultan bisnis pun kandas, karena jurusan itu mensyaratkan hal yang sama.

Akhirnya, tiga tahun sudah aku mengenyam bangku sekolah menengah atas di jurusan akuntansi. Berjibaku dengan kolom dan angka, kalkulator yang kian hari kian menjadi teman akrab, software MYOB yang membuat garuk-garuk kepala meski tak gatal, dan seabreg rumus pajak, Pph, PPNBM, PBB, dan lain-lain. Itu membuat cita-citaku bergeser, saat itu aku berkata: Aku ingin menjadi seorang menteri keuangan, dengan alibi namaku mirip dengan menteri keuangan yang saat ini menduduki posisi penting di bank dunia. Kau tahu maksudku, bukan?

Hingga akhirnya, menjelang akhir-akhir masa sekolah menengah atasku, aku menemukan dunia baru. Kepenulisan, sebenarnya ini bukanlah hal baru, melainkan sesuatu yang telah lama terkubur. Ingataku melayang pada saat aku tengah duduk dibangku kelas lima SD. Ya! Aku sangat mencintai puisi.
Kesal setengah mati, saat tulisanku disebut buruk. Tapi jika dipikir-pikir tulisanku memang buruk waktu itu. Beda dengan sekarang, tulisanku bahkan mungkin lebih buruk lagi. Hihihi… dari situlah muncul keinginan baru. Ya! Aku ingin menjadi seorang jurnalis….


 Entah ini disebut apa, maksudku… Apa ini? Minat atau Bakat. Tapi yang pasti saat itu aku mulai sadar bahwa aku tidaklah cocok untuk berada di jalur logika. Aku bisa, tapi aku tidak ahli. Sama halnya dalam studi tiga tahunku di akuntansi. Aku bisa mendapat prestasi cukup bagus karena nilai lain yang menopang, sedangkan nilai akuntansiku sendiri sangat jarang mendapat nilai 10. Sungguh ironis, baru aku sadari ketika usiaku menginjak 18 tahun. Ya, mungkin ini yang disebut sebagi tugas-tugas perkembangan. 

BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar