Sudah lama aku ingin menulis ini.
Terlebih saat ingatan ini kian hari kian memudar aura rasanya.
Aku tidak ingin melewatkannya.
Ya! Semuanya di mulai saat itu. Obrolan iseng di beranda depan ruang 3.1.3.05 FIP. Dari awalan ungkapan teman yang mengatakan, "Aku habis naik gunung..." Pembicaraan kian mengalir ngalor ngidul, sehingga kami memiliki keinginan untuk menaiki gunung (aku lebih suka menyebutnya sebagai bukit) Lembu, Purwakarta.
Gunung satu itu diam-diam telah mencuri minat kami. Setelah melihat pemandangan dari foto yang tersebar di internet aku mulai takjub. Ya! Mahakarya Allah SWT yang telah menciptakan alam dengan sedemikian rupa. Menjadikan potensi pariwisata di daerah tempat tinggalku. Panyindangan, yang bahkan sering kali diejek tidak tercantum dalam peta, kini telah mendunia melalui jejaring dunia maya.
Disusunlah rencana untuk hiking ke sana awal April. Alakulihal, sampai saat ini rencana itu tidak terjadi juga. Kemudian, kepulanganku kemarin, sengaja aku menyempatkan datang ke kantor. Iseng-iseng ngajak temen kantor naik gunung juga. Then respon mereka positif, tapi karena pekerjaan kami yang tidak bisa ditinggalkan akhirnya sampai hari ini belum terlaksana juga niat itu.
Alih-alih pergi ke gunung bersama teman-teman kantor dan teman kuliah, ajakan justru malah datang dari kedua orangtuaku. Agak kaget memang saat mereka mengajak pergi ke gunung. Mungkin ada motif iri saat orang dari jauh sudah mengeksplor gunung itu, sedangkan kami orang sekitarnya, tidak tahu menahu. Atau mungkin ada motif kebersamaan yang sedang di bangun, maka itu mereka mengajak naik gunung saat aku sedang libur di rumah. Aku harap yang kedua lebih dominan.
Then, kami sekeluarga akhirnya benar-benar menuju tempat pendakian. Aku, ayah, ibu dan kedua adikku, adikku yang pertama membawa tiga temannya untuk ikut.
****
Di perempat perjalanan kami berpisah. Ayah bersama anak-anak kecil memilih mendaki ke jalan memotong yang memiliki kemiringan yang cukup suram. Sedangkan aku dan ibuku memilih jalan memutar ke jalur pendakian yang tidak terlalu curam. Selam perjalanan kami berduaa, diam-diam aku memperhatikan ibuku. Diam-diam mengaguminya, diam-diam merasa bangga padanya. Dan aku sadar selama belasan tahun diam-diam kebanggaan itu memang telah tertanam di hatiku. Terlepas dari apa pandanganku terhadapnya sebelumnya. Kian hari aku kian sadar bahwa aku memiliki ibu yang luar biasa.
Umurnya sudah 45 tahun kini. Dan ia mungkin merasa ksusahan saat berjalan beberapa kali ia berhenti. Wajahnya nampak pucat saat beristirahat di habawah barisan pohon bambu. Aku merasa senang berada di posisi itu. Sesekali aku menunggunya, merih tangannya, memberikannya botol minum. Hal yang tidak pernah kulakukan sebelumnya. Coba bayangkan apa yang sedang berkecamuk saat itu dihatiku!
"Apakah lima tahun lagi, Mamah masih bisa naik gunung ya?" katanya sambil mengusap keringat yang mengalir di pelipisnya.
Aku tersenyum, tidak menjawab. Bagaimana mungkin aku menjawab, seperti yang dipaparkan teori Psikologi Perkembangan Santrock, "bahwa pada masa menuju dewasa tua akan terjadi penurunan fisik yang menghambat segala aktivitas." Meskipun aku yakin ibuku kuat. Di sana aku mulai menyadari betapa beruntungnya posisiku saat itu. Ya! Aku mulai berpikir bahwa pengalaman ini mungkin saja tidak akan aku jumpai lagi. Kemudian detik demi detik menjadi kian berharga.
Aku dan ibuku akhirnya sampai di sebuah saung yang didirikan di sekitar gunung lembu (aku lupa namanya). Tapi pemandangan disana sangat luar biasa. Samar-samar aku mendengar suara anak kecil dari arah atas. Tidak salah lagi, itu adalah rombongan adikku. Kami melepas dahaga beberapa saat di sana. Adikku dan teman-temannya berlarian menuju rumah pohon yang sengaja dibuat disana. Sedangkan aku sibuk mengambil gambar. Ayah, ibu dan adiku yang kecil duduk di amben.
"Maka nikmat tuhan yang mana lagi yang engkau dustakan?"
mengiang-iang di kepalaku. Bagaimana mungkin aku melewatkan panorama di atas gunung Lembu ini. Di mana ketika menatap ke arah Timur maka kau akan melihat hamparan sawah yang indah. Barisan terasering yang tidak kalah seperti Ubud Bali. Jika kau melihat kearah Selatan maka kau akan melihat rangkaian pegunungan, yaitu gunung Parang dan gunung Bongkok, jika kau melihat kearah Utara maka kau akan melihat betapa megahnya karya Allah menempatkan gunung Cilaliwi dan luasnya waduk Jatiluhur. Barisan kolam apung, yang kian terlihat indah jika dipandang malam hari. Jika melihat ke arah barat? Ah! Kau aku tersadar perjalanan ke puncak masih panjang :D
***
Setelah beberapa pertimbangan kami akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kami ke puncak gunung. Kali ini kami berangkat bersama-sama. Anak-anak kecil itu sangat semangat sekali. Terutama adikku yang berusia lima tahun. Aku tidak habis pikir kenapa dia begitu semangat. Malah dia yang ingin cepat-cepat jalan ke puncak. Sekali dua kali dia pura-pura jatuh hanya karena kesenangannya itu.
Ya! Mungkin kau sudah bisa membayangkan, bahwa kami (aku dan ibuku) akan tertingal lagi. Ayahku dan anak-anak itu entah sudah sampai di mana. Kami berdua masih sibuk dengan tanjakan pertama. Beberapa kali berhenti. Kali ini traknya lebih curam, wajar saja ibuku ngos-ngosan akupun begitu. Tapi, mungkin, karena slogan yang ditempel di pohon bertuliskan "Jangan Menyerah sampai tujuan" kami terus berjalan hingga menemukan yang datar.
Dan akhirnya kami hampir sampai puncak. Disanalah kami bertemu dengan ayah dan segerombolan anak kecil itu.
****
Di puncak kami menemuka banyak orang yang mendirikan tenda. Aku menebaknya mereka adalah mahasiswa dari Jakarta dan sekitarnya. Bisa diidentifikasi dengan mendengar logatnya :D. Kami terus berjalan hingga akhirnya sampai puncak.
Subhanallah... Masya Allah... betapa indahnya! Tidak sia-sia perjuangan kami mendaki.This is Peak Experience!
Kami tentu tidak melewatkan mengabadikan keindahan alam itu. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk makan. Namun kami bingung, karena air perbekalan sudah habis. Begininih kalau kurang persiapan. Untungnya ada pendaki di sana yang memberikan sebagian airnya. Kami pun akhirnya makan bersama. Pernah membayangkan betapa nikmatnya makan dengan makanan favorit? dan di makan setelah capek, lalu makan bersama keluarga? Tak pernah terbayangkan nikmatnya!
***
Menjelang dzuhur kami memutuskan untuk turun gunung. Dan untuk ketiga kalinya Ayahku dan anak-anak itu meninggalkan kami berdua. Dari puncak menuju turun ada jalan yang menanjak, sehingga membuat kami berdua cukup kelelahan. Dan aku berjalan duluan, hingga aku tidak menyangka ibuku jauh tertinggal.
Aku memutuskan untuk menunggunya di sebuah batu yang datar. Beberapa lama kemudian ibuku muncul.Betapa kagetnya saat ia tampak begitu berkeringat dan pucat. Ia duduk ambruk dihadapanku. Aku kaget. Namun ia masih bisa mengatur napasnya.
"Mau minum..." katanya.
Aku menghela napas, kemudian memberikan botol air mineral. Ia meneguknya dan mulai mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Namun tiba-tiba ia berkata sesuatu yang tidak aku bayangkan sebelumnya.
"Mungkin begini capeknya kalau sakaratul maut," ujarnya.
Aku hanya diam tak tahu harus berkata apa. Ketika aku melihat ia membuka mulutnya aku memutuskan untuk menjadi pendengarnya saja saat ini.
"Mamah, pernah denger kalau orang sakaratul maut itu, roh nya jalan-jalan ke tempat yang terjal... makanya kalau orang sekarat itu keliatan capek. Suka kasihan kalau di tv-tv ngeliat yang sekarat itu sampai beberapa jam atau beberapa hari, mungkin ruhnya sudah sangat capek sekali..." katanya. "Tapi Mamih nggak gitu... Masih ingatkan waktu di rumah sakit?"
Kali ini ibuku membicarakan ibunya, ya! Nenekku yang sama hebatnya dengan ibuku. Nenek yang aku cintai.
"Mamihmah, gak ketahuan karena pakai selang oksigen..." kataku.
"Iya, mungkin Mamih terlihat damai karena setiap hari sering membaca Al-Quran..." katanya.
Beberapa detik kami hanya terdiam. Menyisakan suara jangkrik disekililing kami. Mungkin saat itu kami tengah mengingat Nenek yang begitu riligius. Terlepas dari apapun keyakinannya. Nenek yang juga sangat kuat, yang sering kali membuatku menetskan air mata ketika ia menceritakan perjalanan hidupnya. Kesolehahan yang jarang ditemui, yang menular pada ibuku hari ini. Aku selalu merasa tidak menjadi apa-apa jika dibandingkan mereka.
"Tahu gak, Mamah udah gak kuat pas naek kesini... Tapi Mamah negbayangin film Si Adit (dan Sopo), yang suka bilang 'Denis... Bayangin kalau kamu jadi superman.' Jadi Mamah membanyangkan kalau jalan yang nanjak ini jadi datar," ujarnya.
Aku tertawa, "Lucu, Mah. Itu teh namanya sugesti..." Kataku.
Setelah beberapa menit, kami akhirnya melanjutkan perjalanan untuk turun gunung. Terngiang-ngiang dalam otakku bagaimana kami melewati perjalanan ini. Ya! Perjalanan yang tidak hanya memberikan nilai estetika, tapi emosi dan juga spiritual. Itulahh hakikatPeak Experience sesungguhnya.
Hari itu aku merasa selangkah lebih dekat, selangkah lebih memahami, selangkah lebih menambah kemistri. Dari perjalanan ini aku hampir memiliki semuanya, kecuali satu! Ya! Aku belum mendapat foto keluarga. Seperti biasa mereka selalu berfoto berempat tanpa aku. Oke Baiklah mungkin aku harus menunggu tiga tahun lagi sampai aku wisuda. No Problem... :D
Ini ceritaku, mana ceritamu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar